Follow Us on Twitter

Koordinat Mengalihkan Perhatianku

Malam tanpa bintang. Udara menusuk tulang. Jangkrik bernyanyi samar-samar di tengah tetesan air yang jatuh dari langit.

Aku melangkah menuju dapur kecilku. Kubuat secangkir cokelat panas, lalu kusandarkan diri pada sofa di sudut kamar.

Mataku menyapu ruang tidurku, entah mengapa mataku tertuju pada satu benda yang tak asing lagi. Kemudian kulangkahkan kaki menuju benda itu dan ternyata itu sebuah album. Album yang telah usang.

Tertulis 1 Agustus 2005, pada halaman pertama. Tak kusangka sudah lima tahun lamanya tak kusentuh album ini. Album yang menyimpan kisahku bersama Louisa. Lembar demi lembar kubuka, tiba-tiba kenangan itu berlari-lari dalam ingatanku.

Pertama berjumpa dengan Louisa, aku merasa biasa saja. Nothing special. Tetapi setelah aku mengenalnya, hidupku menjadi berwarna. Bagaimana tidak? Louisa yang baru duduk di kelas dua SMA, begitu penuh perhatian dan ramah padaku.

Mulanya memang tak sengaja kami bertemu saat pendakian Gunung Bromo bersama teman-teman pecinta alamku. Semua serba kebetulan. Kebetulan saat aku tidak sedang bertugas dan kebetulan juga Louisa yang berangkat survey dari pihak asrama. Harusnya bukan Louisa yang pergi.

Awal Perkenalan kami sangat singkat, hanya nama. Sambil bersalaman, “Raymond” singkatku. Begitu juga dengannya “Louisa”. Datar dan dingin.

Kemudian, semua terasa sangat panjang pada hari terakhir. Saat aku harus berjalan menuntunnya menuruni jalan yang curam dan berbatu. Selama perjalanan hanya mata kami yang berbicara. Tiba-tiba Louisa menghentikan langkah karena kelelahan, lalu aku berinisiatif minta nomer ponselnya.

Darahku mengalir hebat. Jatungku berdegup kencang. Tak mampu aku ungkapkan lewat kata-kata. Betapa senangnya hatiku.

Tak terasa tiba waktunya kami harus kembali pada realita hidup. Louisa kembali ke asrama. Aku bersama teman-teman pecinta alam kembali ke Jakarta.

Sesampainya di rumah. Wajah Louisa yang manis, mata yang indah, senyum yang menawan menghantui pikiranku. Ah, aku tak bisa melupakannya. Kuraih ponselku, lalu kuputar nomer ponsel Louisa dan tak lupa kutekan tombol hijau.

“Halo, malam. Ini siapa ya?” Sapa Louisa merdu.

“Malam, ini benar nomernya Louisa kan?” tanyaku terbata-bata.

“ Ya, benar. Ini siapa?”

“Ini aku, Raymond. Masih ingat?”

“Hahaha. Tentunya masih. Sudah sampai rumah?”

“Sudah kok. Baru saja. Kamu belum tidur?” Tanyaku penuh perhatian.

“Ini juga mau tidur. Besok aku harus sekolah.”

“Louisa, selamat malam. Selamat istirahat. Mimpi indah ya. Terima Kasih Louisa”

“Sama-sama kembali kasih, Raymond. Kamu juga ya.”

Terima kasih Tuhan telah mempertemukan aku dengan bidadari manis. Aku sangat memuji karya-MU yang indah ini. Sungguh beruntungnya aku. Sekarang aku mau tidur. Semoga aku bisa memimpikannya. Amin. Ini sepenggal doa malam yang kupanjatkan pada-NYA sebelum kuterlelap.

***

Aku dan Louisa mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama menyukai perjalanan yang langsung bersentuhan dengan alam. Kami saling bertukar cerita tentang ini dan itu.

Ternyata Louisa enak diajak bicara dan humoris. Sungguh, aku menikmati obrolan bersamanya.

Setiap hari kami sempatkan untuk bercengkrama melalui telepon dan pesan singkat, entah siapa yang memulai menebarkan pesona, menebarkan benih-benih cinta di dada, di hati dan di setiap detak langkah kami.

Baru kusadari, semalam saja aku tak berbincang dengannya hidupku hampa. Aku mencoba mendeteksi tanda-tanda yang janggal dalam diriku ini dan hasilnya Aku jatuh cinta padanya!

Aku tak mengerti akan misteri Ilahi. Usia kami terpaut delapan tahun. Sosok Louisa mampu membuat hatiku ingin segera berlari bersanding dengan hatinya. Aku berharap ini bukan sekedar khayalanku.

Di layar ponselku tertulis 1 new message. Segera kubuka diiringi mulut menganga dan mata serasa mau lari dari tempatnya. Pesan Singkat dari Louisa yang berisi

Aku rindu padamu.

Sungguh aku tidak percaya akan isi pesan ini. Aku membacanya berulang-ulang. Setelah kuhitung tepat delapan kali aku membaca ulang isi pesan darinya. Dengan keyakinan hatiku yang terdalam, akhirnya aku percaya. Ini bukan khayalan.

***

Seketika semua berubah menjadi sesuatu yang tidak kuharapkan. Ini nyata adanya. Aku benar-benar tercengang akan apa yang terjadi dalam hubunganku.

“Bisakah kamu mengerti aku, Sa”

”Buat apa?”

“Astaga! tega sekali kamu berkata itu padaku.”

“Aku bicara jujur dan apa adanya.”

“Apa yang kamu mau?”

“Aku mau kamu seperti Raymond yang dulu. Sejauh kamu bertugas, kamu masih sempat untuk mengunjungi aku.”

Aku tersentak mendengar semua jawaban Louisa. Entah apa yang membuatnya berubah. Rasa lelahku belum pulih setelah empat hari mengarungi lautan luas. Inilah pekerjaanku sebagai nakhoda kapal di sebuah perusahaan pelayaran Nasional.

Sudah hampir lima bulan kami tidak berjumpa hanya telepon dan pesan singkat sebagai perantara kami. Aku menyesalkan hal ini karena aku harus meninggalkannya untuk waktu yang cukup lama.

Aku yakin dalam waktu lima bulan itu pasti Louisa berada dalam penantian panjang untuk melepas rindu padaku. Kejutan yang kuberikan hari ini sangat berbeda dari yang sudah-sudah.

Aku terbang dari Pontianak menuju Yogyakarta, lalu langsung menuju asrama Louisa.

Aku mencoba menghubungi Louisa, kekasihku yang sudah dua tahun ini bersamaku. Tapi nihil. Tak ada jawaban. Segera kuketik sebuah pesan singkat untuknya.

Louisa sayang, kamu ada di mana? Aku sungguh merindukanmu.

Cepatlah pulang ke asrama, aku menantimu.

Pesan terkirim. Satu jam kemudian Louisa membalas pesanku. Tapi jawabannya jauh dari harapanku.

Aku ambil secarik kertas, lalu kutuliskan sesuatu untuknya. Aku pria yang romantis yang tak mudah mengumbar sisi romantisku pada sembarang orang. Hanya orang spesial yang akan mendapatkannya termasuk Louisa.

Teruntuk Kekasihku Louisa

Ketahuilah sayang,

Sejauh aku pergi, jiwamu menemaniku

Ini fakta, bukan rekayasa

Aku dapat merasakannya

Sungguh ini fakta

Sayang, Aku rindu padamu

Ini serius

Aku selalu merindukanmu

Senyummu adalah Semangatku

Ini benar adanya

Aku ingin memelukmu

Aku ingin mencium keningmu

Bukan esok atau lusa

Tapi, saat ini.

Pejamkam matamu sejenak, sayang

Ini pintaku

Lakukanlah

Resapilah

Aku ada di sekitarmu

Jangan khawatir

Aku disini

Selalu disini

Di dalam hatimu

Peluk Cium

Raymond

Selesai. Kulipat menjadi sebuah perahu kecil dan ku titipkan pada penjaga asrama.

“Maaf, ini dari siapa?” Tanya penjaga.

“Bilang saja dari yang jauh tapi terasa dekat.” Kataku.

Aku melangkahkan kaki keluar dari asrama. Bersembunyi di balik gedung. Melihat kekasihku dari kejauhan hendak menuju asrama. Sengaja kuperlambat. Aku menelpon dan diangkat.

“Halo, sayang. Sudah pulangkah?”

“O. masih peduli ya?”

“Kok kamu bilang seperti itu, jelas aku peduli.”

“Sudahlah aku lelah.”

“Ada apa denganmu? Kamu berubah.” Nadaku agak tinggi.

“Aku lelah menunggumu yang tak kunjung datang.”

“Jadi, kamu tidak lagi bisa menerima keadaan yang seperti ini?” Nadaku melemah.

Teleponku dimatikan olehnya. Sesak sekali rasanya. Tapi biarlah suratku yang mewakili semuanya.

“Sore, Louisa” Sapa penjaga asrama.

“Sa, ini ada titipan.” Perahu kecil diberikan.

“Ini dari siapa?” Perlahan surat dibuka.

“Dari yang jauh tapi terasa dekat.” Jawab penjaga sesuai harapan Raymond.

Louisa tak menghiraukan jawaban penjaga asrama. Dia tercengang membaca surat itu, perlahan tetesan air mata turun dari mata indahnya. Kemudian, dia lari keluar asrama dan mencari sang pujangga romantis ini.

Aku berdiri tepat dibelakangnya sambil memeluk hangat tubuhnya.

“Kamu mencari aku?”

“Tidak. Aku mencari Raymond yang menulis surat ini bukan kamu.”

“Sayang, Raymond yang kamu cari itu aku.”

“Aku tidak percaya.” Berusaha menjauh dariku.

“Louisa bukankah kamu mendukung pekerjaanku?"

“Tapi tidak harus dengan pergi lama dan jauh!”

“Louisa, itu resiko dari pekerjaanku. Kamu paham kan?” Kutatap matanya.

“Aku tidak suka ditinggal seperti ini!”

“Jadi sekarang kamu sudah tidak lagi mendukung pekerjaanku?”

Louisa terdiam. Mata kami saling berpandangan.

***

Ponselku berdering. Tertera Capt. Thomas. Aku segera menjawab. Hanya lima menit perbincangan kami dan itu singkat. Siap Capt. laksanakan, jawabku di akhir perbincangan. Raut wajah Louisa berubah sendu. Aku merasa berdosa sekali dihadapannya.

“Louisa, besok aku akan berlayar.”

“Sudah lelah kudengar kata-kata ini.” Jawabnya dingin.

“Aku rasa kamu baru mengenalku beberapa detik. Aku tidak akan pernah meninggalkan pekerjaan ini.”

“Pergilah kalau memang itu yang kamu mau.”

“Louisa, aku mohon mengertilah.” Nadaku memohon.

“Pergi saja, Ray. Tinggalkan aku sendiri. Hati-hati di jalan.”

Aku tersentak akan jawabannya. Selama ini dia tak pernah keberatan akan kepergianku untuk bertugas. Aku sungguh menikmati perjalanan tugasku sebelumnya. Entah mengapa saat aku akan berlayar ke Kalimantan untuk yang kesekian kalinya. Louisa sama sekali tidak mendukung.

“Baiklah, kalau itu maumu. Aku merasa ini adalah perbedaan mendasar yang ada dalam hubungan kita. Aku tetap berlayar besok.”

Louisa tak menanggapi.

“Aku pamit, Sa.”

“Tunggu!”

Langkahku terhenti. Louisa memelukku erat. Sudah lama aku tak merasakan pelukannya.

“Mungkin aku tidak akan bisa memelukmu lagi dalam waktu yang lama.”

“Jangan khawatir sayang. Kamu bisa memeluku kapan saja kamu mau karena aku akan selalu ada di hatimu.”

***

Aku mengunjungi sebuah pulau yang ada di pesisir Kalimantan, tepatnya di Pulau Sebuku, Kab Kotabaru, Kalimantan Selatan. Tak puas akan keindahan Pulau Sebuku saja aku melanjutkan perjalanan lebih ke selatan menuju Desa Sekapung yang terdapat pantai nan elok rupawan. Angin saling bercengkrama di sekitarku. Matahari tersenyum hangat. Aku menyusuri pantai seorang diri di tengah keindahan alam. Burung-burung bernyanyi merdu dengan tarian nan indah. Ombak berlari-lari. Tanpa kusadari pikiranku mendarat di Yogyakarta. Kesedihan menyelimutiku.

Aku menepiskan perasaan ini. Hatiku berbisik lirih. Seandainya saja Louisa mendukung pekerjaanku sebagai nakhoda. Mungkin aku tidak akan merasakan keresahan yang mendalam seperti saat ini. Setidaknya, aku merasa yakin bahwa dirinya adalah gadis belia yang sangat memahami diriku, profesiku, dan segala sesuatu yang aku jalani.

Aku sungguh menyadari akan perbedaan usia diantara kami. Gadis belia seusianya memiliki emosi yang membara. Jujur saja, ini pertama kali aku menemukan sosok dirinya seperti ini. Seperti yang kuduga sebelumnya. Akhirnya Louisa menampakkan sisi lain dalam dirinya tanpa sadar. Aku kira selama ini dia mendukung pekerjaanku karena memang benar seratus persen adanya. Ternyata persepsiku salah terhadap dukungannya padaku. Setiap kali dirinya memberikan izin untuk kepergianku bertugas, bibir dan hatinya tidak selaras. Hanya basa-basi belaka.

Aku menyaksikan bulan siang tenggelam dengan hati yang abstrak. Sudah hari ketiga puluh aku menyusuri Pulau kalimantan. Sudah banyak tempat kusinggahi. Sungguh aku menikmati perjalananku yang sudah-sudah. Tapi, tidak untuk perjalananku saat ini.

Berat rasanya untuk meninggalkan Kalimantan. Andai saja aku bersama dirinya atau setidaknya disertai dukungan darinya. Aku masih ingin melanjutkan perjalananku. Aku belum ingin meninggal semua ini. Aku belum siap.

Louisa, seandainya saja kamu benar-benar tulus memberi dukungan padaku. Pasti perjalananku tidak hampa seperti ini. Tenang Louisa, aku tidak akan meninggalkanmu. Aku pasti kembali karena aku sayang padamu. Tapi kalau sudah begini, aku sendiri merasa bimbang. Aku terlenan dalam lamunan. Ingin kuselesaikan masalah ini secepatnya.

***

Setibanya di Jakarta, seorang anak buah datang padaku memberikan sepucuk surat dilipat menyerupai layang-layang. Aku buka perlahan lipatan surat, lalu kubaca.

Raymond sayang,

Pasti saat kamu baca surat ini, kamu baru tiba di Jakarta. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Sejujurnya aku tak pernah rela melepas kepergianmu bertugas. Tanpa kamu sadari, perhatian yang kamu berikan padaku kian terbatas karena jarak walaupun setiap hari kita tetap berkomunikasi. Aku menangis sayang. Karena aku hanya bisa membaca kata-kata yang kamu tulis dan mendengar suara kamu lewat telepon. Aku butuh kehadiranmu. Aku butuh pelukanmu.

Kuhentikan membaca surat darinya. Betapa jahatnya aku! Aku tak pernah kepikiran akan hal ini. Aku egois! Aku sibuk akan pekerjaanku. Tak hentinya aku memaki diri sendiri. Seketika itu kuberlari menuju rumah Louisa. Aku memeluk erat dirinya, mencium keningnya, lalu kuucapkan kata maaf dari hati yang terdalam padanya. Louisa, Aku minta maaf akan keegoisanku selama ini padamu.

***

Sungguh kenangan yang tak bisa kulupakan. Ingin rasanya aku kembali di masa itu. Aku ingin menebus rasa bersalahku akan kegoisanku pada dirinya. Tapi aku yakin itu tak mungkin bisa. Koordinat telah mengalihkan perhatianku untuknya.

Sebelum aku menutup album ini. Ada sesuatu yang menghalangi. Terselip secarik kertas putih bertinta hitam yang berisi ….

Untuk cinta yang tak pernah kurasakan sebelumnya

Untuk cinta yang tak akan pernah berubah!

Untuk cinta yang harus merasakan betapa beratnya penantian ini

Untuk cinta yang harus merasakan sedih yang mendalam dan pahit!

Dan untuk cinta yang tetap hidup di hati…

Hanya rasa cinta yang tetap memberiku kekuatan sampai saat ini


by : MMY

Category: 0 komentar

0 komentar:

Posting Komentar